Total Pageviews

Blog tetangga sebelah

Saturday, 7 February 2009

Aku Malu di urus oleh Walikota, Bupati, Gubernur, Menteri, Presiden Indonesia ”

Bandara Soekarno-Hatta lumpuh akibat banjir di sejumlah titik Tol Sedyatmo, yang menghubungkan Jakarta dengan bandara internasional tersebut. Gerbang pertama—sekaligus wajah pertama—menuju dan keluar Indonesia itu limbung. Antara 1-3 Februari lalu, penerbangan terpaksa dialihkan ke Halim Perdanakusuma, Palembang, Semarang, Surabaya dan bahkan Singapura! Di antara 30-40 ribu penumpang yang setiap hari datang dan pergi lewat Soekarno-Hatta, sekian ribu pastilah warga negara asing. Di mana akan ditaruh muka kita?






Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

Bandara Soekarno-Hatta lumpuh akibat banjir di sejumlah titik Tol Sedyatmo, yang menghubungkan Jakarta dengan bandara internasional tersebut. Gerbang pertama—sekaligus wajah pertama—menuju dan keluar Indonesia itu limbung. Antara 1-3 Februari lalu, penerbangan terpaksa dialihkan ke Halim Perdanakusuma, Palembang, Semarang, Surabaya dan bahkan Singapura! Di antara 30-40 ribu penumpang yang setiap hari datang dan pergi lewat Soekarno-Hatta, sekian ribu pastilah warga negara asing. Di mana akan ditaruh muka kita?

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

Saya bukan pembaca setia Taufiq Ismail, penyair angkatan 1966 yang hingga kini masih berkiprah dan menyantuni sastra Indonesia. Namun izinkan saya mengutip sepenggal sajaknya yang sangat relevan dengan Indonesia 2008. Sajak “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” yang ditulis Taufiq tahun 1998 menampar muka Indonesia dengan telak, telak sekali.Setelak rasa malu negara kita menyaksikan Bandara Soekarno-Hatta lumpuh akibat banjir di sejumlah titik Tol Sedyatmo, yang menghubungkan Jakarta dengan bandara internasional tersebut. Gerbang pertama—sekaligus wajah pertama—menuju dan keluar Indonesia itu limbung. Antara 1-3 Februari lalu, penerbangan terpaksa dialihkan ke Halim Perdanakusuma, Palembang, Semarang, Surabaya dan bahkan Singapura! Di antara 30-40 ribu penumpang yang setiap hari datang dan pergi lewat Soekarno-Hatta, sekian ribu pastilah warga negara asing. Di mana akan ditaruh muka kita?

Taufiq terpukau wajah indah kota-kota di belahan bumi yang disinggahinya lewat sajaknya itu. Sang “Aku” yang diceritakan Taufiq adalah orang Indonesia yang kosmopolit, ia melanglang buana, menyusuri kota antarbenua dan menyaksikan keelokan kota dengan lanskap tersusun rapi. “Aku” mendapati kota yang berbeda ketimbang kota-kota di tanah air, sebuah kontras yang membuatnya menyembunyikan identitas sebagai “orang” Indonesia. “Aku” menyembunyikan “Indonesia” di balik kacamata hitam dan topi baret.

Apa yang bisa dibanggakan orang Indonesia tentang negerinya yang tersapu gelombang krisis sejak 1997. Harapan agar kesejahteraan hidup membaik tak kunjung terwujud. Selagi pemerintah memompa asa lewat kinerja ekonomi makro yang lumayan kinclong, negeri ini bertekuk lutut pada banjir. Banjir 2007 menyapu Jakarta membikin “tradisi lima tahunan” bak hantu.

Awal 2008, banjir menghempang Jawa Tengah dan Jawa Timur—sepanjang aliran Bengawan Solo. Negeri ini dipaksa menyerah. Ada yang mengambinghitamkan alam, padahal dengan itu mereka “yang lempar batu sembunyi tangan itu,” menepuk air ke mukanya sendiri. Bukankah kerusakan alam, terutama hutan di hulu hingga hilir Bengawan Solo berasal dari tabiat manusia yang tak lagi mencintai alam?

Banjir dan selaksa bencana tak pelak membuat produksi bahan pangan minus. Sebentar lagi “air bah” impor beras, jagung, kedelai hingga gandum akan menggerojok Indonesia. Negeri ini akan menjadi pasar—dan sudah!—yang besar bagi komoditas pertanian negara lain. Akibatnya, bisa ditebak warga miskin merasakan “gempa” dahsyat di dapur mereka sendiri. Sembako tak terbeli, lapar membelit dan kebahagiaan ke mana sudah!

Belum lepas “luka” yang membetot warga sekitar aliran Bengawan Solo, banjir menghempang KM 25-27 Tol Sedyatmo. Bukan kebetulan jika titik banjir itu berada di lokasi sama dengan kejadian tahun 1999. Kala itu, selama empat hari (28-31 Januari 1999), Tol Sedyatmo di ruas KM 26-28 tergenang air. Praktis pada hari pertama kejadian, tak kurang dari 121 jadwal keberangkatan pesawat tertunda.

Dan kini, setiap hujan deras turun, Tol Sedyatmo seolah menjadi pemandangan runyam. Air menjadi menakutkan. Bukan hanya menggenang. Persoalannya, lebih pelik dari itu. Siapa saja—khususnya mereka calon penumpang berbagai maskapai—yang hendak pergi dan keluar Jakarta harus tersiksa. Memilih jalan memutar dengan kemacetan yang parah. Atau pasrah, tiket penerbangan hangus lantaran terlambat tiba di bandara. Apabila hujan berlama-lama turun di Jakarta, Bandara Soekarno-Hatta tak sanggup lagi memanggul “peran” sebagai gerbang pertama menuju Indonesia.

Yang jelas, banjir di Tol Sedyatmo awal Februari 2008 bukanlah yang pertama. Banjir sudah terjadi tahun 1995 silam. Telunjuk sudah diarahkan ke sana-sini. Berbagai alternatif ditawarkan. Tapi, tetap saja solusi belum ada. Sekarang, usulan membuat jalan layang membubung tinggi. Kata akhir belum diputus! Sampai terwujudnya rekayasa teknologi—entah kapan—yang menyelesaikan masalah, banjir di Tol Sedyatmo hanya bisa dihambat satu hal: hujan menghilang dari Jakarta. Dan, itu berarti bergantung pada kebaikan Tuhan semata

0 comments:

Post a Comment

Banner

TWIT

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons